Walaupun saya sendiri belum begitu mendalami islam,Tapi artikel ini harap bisa dibaca sebagai referensi jika memang ini bermanfaat, .Saya tulis artikel ini dari blog sebelah yang saya rasa cukup bermanfaat bagi saya sendiri dengan harapan bisa menshare artikel ini ke semua kalangan penbaca.
Setiap
Pasangan suami istri pasti menginginkan hubungan yang romantis. Istimewanya ajaran
Islam, aturan ketika di ranjang pun diajarkan demi mewujudkan
keharmonisan rumah tangga. Aturan di sini ada yang menjelaskan mengenai
larangan yang mesti dijauhi, ada pula beberapa hal yang sunnah
(anjuran), ditambah lagi dengan pelurusan terhadap hal-hal yang dianggap
tidak boleh oleh sebagian kalangan padahal asalnya boleh. Semoga dengan
semakin mengetahui aturan-aturan Islam ini, hubungan intim dengan sang
istri semakin mesra dan tidak sampai melanggar yang Allah larang, yang
diinginkan hanyalah ridho Allah.
1 . Disunnahkan bercumbu rayu sebagai pemanasan terlebih dahulu di awal-awal hubungan badan.
Inilah alasan kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan
untuk menikahi wanita perawan karena kita pun bisa menikmati manisnya.
Ketika Jabir menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
padanya,
« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا » . فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ
ثَيِّبًا . فَقَالَ « هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا
وَتُلاَعِبُكَ »
“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi
janda”, kata Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena
engkau bisa bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu
mesra denganmu?” (HR. Bukhari no. 2967 dan Muslim no. 715). Ibnu Hajar
mengatakan bahwa hal ini sebagai isyarat kalau gadis sangat menyenangkan
jika diisap lidahnya ketika bermain-main atau menciumnya (Fathul Bari,
9: 122).
2. Menyetubuhi istri di kemaluan, terserah dari depan atau belakang.
Allah Ta’ala berfirman,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki” (QS. Al Baqarah: 223). Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Yang namanya ladang (tempat bercocok tanam) pada wanita adalah di
kemaluannya yaitu tempat mani bersemai untuk mendapatkan keturunan. Ini
adalah dalil bolehnya menyetubuhi istri di kemaluannya, terserah dari
arah depan, belakang atau istri dibalikkan.” (Syarh Muslim, 10: 6)
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa orang Yahudi berkata kepada
kaum muslimin, “Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya dari arah
belakang, maka anaknya nanti bisa juling (matanya). Turunlah firman
Allah Ta’ala,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki” (QS. Al Baqarah: 223). Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً مَا كَانَ فِي الفَرْجِ
“Terserah mau dari arah depan atau belakang selama di kemaluan.” (HR.
Ath Thohawi 3: 41 dalam Syarh Ma’anil Atsar dengan sanad yang shahih)
3. Tidak boleh menyetubuhi istri di dubur
Sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 223 di atas bahwa
istri adalah seperti ladang kita bercocok tanam. Tempat benih tersebut
disemai adalah di kemaluan, bukanlah di dubur sebagaimana kata Imam
Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (10: 6).
Hadits yang mendasari larangan ini adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا
“Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.”
(HR. Ahmad 2: 479. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
tersebut hasan)
Begitu juga sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di
duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu
Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ancaman yang ditunjukkan pada dua hadits di atas menunjukkan bahwa
perbuatan ini termasuk dosa besar karena disertai laknat (jauh dari
rahmat Allah) dan dinyatakan sebagai suatu kekufuran.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
tidak halal menyetubuhi di dubur sedikit pun baik pada manusia maupun
hewan dalam segala macam keadaan.” (Syarh Muslim, 10: 6)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala sendiri mengharamkan
menyetubuhi wanita haid karena adanya haid di kemaluaannya. Bagaimana
lagi jika yang disetubuhi adalah tempat yang keluarnya najis
mughollazhoh (najis yang berat)? Seks anal tidak dipungkuri lagi
termasuk jenis liwath (sodomi). Menurut madzhab Abu Hanifah, Syafi’iyah,
pendapat Imam Ahmad dan Hambali, perbuatan seks anal ini haram, tanpa
adanya perselisihan di antara mereka. Demikian pula hal ini menjadi
pendapat yang nampak pada Imam Malik dan pengikutnya.” (Majmu’ Al
Fatawa, 32: 267-268)
4. Tidak boleh menyetubuhi wanita di masa haid
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya
menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits
yang shahih” (Al Majmu’, 2: 359). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram
berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di
duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu
Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al
Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i
rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia
telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama
tidak melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ،
فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ،
أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا .
قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau
memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya
darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah
berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk
berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”
(HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul
bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”.
Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.
5. Jika seorang pria kuat, ia boleh mengulangi hubungan intim untuk kedua kalinya, namun hendaknya berwudhu terlebih dahulu
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Jika salah seorang di antara kalian menyetubuhi istrinya, lalu ia ingin
mengulanginya kembali, maka berwudhulah” (HR. Muslim no. 308). Perintah
wudhu di sini adalah sunnah (anjuran) dan bukan wajib (Syarh Shahih
Muslim, 3: 217)
6. Boleh-boleh saja suami istri tidak berpakaian sehingga bisa saling melihat satu dan lainnya
Hal ini dibolehkan karena tidak ada batasan aurat antara suami istri.
Kita dapat melihat bukti hal ini dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu
bejana dan kami berdua dalam keadaan junub” (HR. Bukhari no. 263 dan
Muslim no. 321). Al-Hafizh lbnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata,
“Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang
suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Pendapat ini dikuatkan
dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa
bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat aurat
istrinya. Maka Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha
tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini
kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.”
(Fathul Bari, 1: 364).
Sebagai pendukung lagi adalah dari ayat Al Qur’an berikut, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS. Al Mu’minun: 5-6).
Ibnu Hazm berkata, “Ayat ini umum, menjaga kemaluan hanya pada istri
dan hamba sahaya berarti dibolehkan melihat, menyentuh dan bercampur
dengannya.” (Al Muhalla, 10: 33)
Sedangkan hadits,
إِذَا أَتَى أَهْلَهُ فَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ العَيْرَيْن
“Jika seseorang menyetubuhi istrinya, janganlah saling telanjang.” (HR.
An Nasai dalam Al Kubro 5: 327 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6:
163. Abu Zur’ah mengatakan Mandal yang meriwayatkan hadits ini adalah
keliru). Penulis Shahih Fiqh Sunnah (3: 188) mengatakan bahwa hadits ini
munkar, tidak shahih. Maka asalnya boleh suami istri saling telanjang
ketika hubungan intim. Wallahu a’lam.
7. Istri hendaklah tidak menolak ketika diajak hubungan intim oleh suaminya
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan
memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR.
Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436). Namun jika istri ada halangan,
seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus
memaklumi hal ini. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil
haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk
haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas
kemaluannya.” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7)
8. Jika seseorang tidak sengaja memandang wanita lain, lantas ia begitu takjub, maka segeralah datangi istrinya
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya beliau pernah melihat seorang wanita, lalu ia mendatangi
istrinya Zainab yang saat itu sedang menyamak kulit miliknya. Lantas
beliau menyelasaikan hajatnya (dengan berjima’, hubungan intim), lalu
keluar menuju para sahabatnya seraya berkata,
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِى صُورَةِ
شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ
فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita datang dalam rupa setan, dan pergi dalam rupa
setan. Jika seorang di antara kalian melihat seorang wanita yang
menakjubkan (tanpa sengaja), maka hendaknya ia mendatangi (bersetubuh
dengan) istrinya, karena hal itu akan menolak sesuatu (berupa syahwat)
yang terdapat pada dirinya” (HR. Muslim no. 1403)
Para ulama berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
seperti ini sebagai penjelasan bagi para sahabat mengenai apa yang mesti
mereka lakukan dalam keadaan demikian (yaitu ketika melihat wanita yang
tidak halal, pen). Beliau mencontohkan dengan perbuatan dan perkataan
sekaligus. Hadits ini juga menunjukkan tidak mengapa mengajak istri
untuk hubungan intim di siang hari atau waktu lain yang menyibukkan
selama pekerjaan yang ada mungkin ditinggalkan. Karena bisa jadi
laki-laki sangat tinggi sekali syahwatnya ketika itu yang bisa jadi
membahayakan badan, hati atau pandangannya jika ditunda (Lihat Syarh
Shahih Muslim, 9: 179).
9. Tidak boleh menyebarkan rahasia hubungan ranjang
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ
ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya termasuk manusia paling jelek kedudukannya di sisi Allah
pada hari kiamat adalah laki-laki yang menggauli istrinya kemudian dia
sebarkan rahasia ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437). Syaikh Abu Malik
berkata, “Namun jika ada maslahat syar’i sebagaimana yang dilakukan
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebarkan bagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berinteraksi dengan istrinya,
maka tidaklah masalah” (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 189).
10. Jika seseorang datang dari safar, hendaklah dia mengabarkan istrinya dan jangan datang sembunyi-sembunyi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia
mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang
ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir
rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi
istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya
berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim
no. 715).
11. Boleh menyetubuhi wanita yang sedang menyusui
Dari ‘Aisyah, dari Judaamah binti Wahb, saudara perempuan ‘Ukaasyah, ia
berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ
الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ
“Sungguh, semula aku ingin melarang (kalian) dari perbuatan ghiilah.
Lalu aku melihat bangsa Romawi dan Persia dimana mereka melakukan
ghiilah terhadap anak-anak mereka. Ternyata hal itu tidak membahayakan
anak-anak mereka” (HR. Muslim no. 1442). Ghiilah bisa bermakna
menyutubuhi wanita yang sedang menyusui. Ada pula yang mengartikan
wanita menyusui yang sedang hamil (Lihat Syarh Shahih Muslim, 10: 16).
Kebolehan menyetubuhi wanita yang sedang menyusui tentu saja dengan
melihat maslahat dan mudhorot (bahaya) sebagai pertimbangan.
Dari artikel 'Aturan dalam Hubungan Intim — Muslim.Or.Id'
sumber : Muslim.Or.Id – Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah
Senin, 09 September 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar