Sabar, demikian nama pendaki tunadaksa berkaki satu dari Indonesia berjuang sekuat tenaga melawan cuaca yang mudah berubah saat mendaki. Badai menerjang, dia tak tunduk. Dengan sabar, sesuai si empunya nama, dirinya mampu menembus terpaan badai, menaklukan puncak Elbrus, gunung tertinggi di Eropa saat perayaan kemerdekaan RI. Dengan proses berliku, inilah nukilan cerita sang pejuang gigih tersebu.
Di sinilah awal perjuangan, meski diantar mobil. Dari kota kecil Pyatigorsk Sabar harus melalui perjalanan sepanjang 125 km. Ada empat etape besar yang dilalui. Pertama, menembus kota dan pedesaan Pyatigorks sepanjang 20 km. Kedua, jalan tanpa aspal di sela gunung. Ketiga, merupakan jalan bebatuan selebar 3 meter di tepian gunung.
Terakhir, etape menuju Emanuel berjarak 20 km. Melewati jalan terjal berbatu, pada sisi jalan ditemukan reruntuhan bukit. Sementara pada sisi kiri jalan, jurang 500-700 meter siap menelan kalau lengah. Naik mobil pun seperti naik kuda. Hingga akhirnya sampai tujuan setelah melewati sungai selebar 200 meter.
Tantangan makin menggunung setelah jalur Selatan ditutup akibat gangguan keamanan. Tim Ekspedisi Merdeka memutuskan melewati jalur Utara yang merupakan rute terberat. Bila dianalogikan, jalur Utara ini tiga kali lebih jauh dibanding jalur Selatan.
Sabar mulai mendaki Elbrus dari Emmanuel Camp di ketinggian 2500 dpl pada 13 Agustus. Ada tiga tahap dari tempat tersebut. Melewati beberapa bukit dan tebing curam, Sabar cs merayap menuju Moraine camp (3800 mdpl) dalam kurun 6 jam. Dia kemudian turun lagi kembali ke Emanuel camp dan kembali naik keesokan harinya. Pergerakan naik turun seperti ini sangat diperlukan, agar pendaki tidak mengalami mountain sickness.
Pada 15 Agustus, Sabar bergerak, mengayuh tongkat di kedua lengan yang dipasangi crampon buatannya sendiri dengan melihat katalog pendaki-pendaki gunung es. Ini adalah tahap kedua menuju Lenz Rock di ketinggian 4600 mdpl. Tak lupa, dia menggunakan jaket lapis lima dan kaca mata ultraviolet akibat salju dengan suhu minus 5 derajat celcius. Akhirnya setelah mendaki selama 7 jam sampai jua di tujuan. Sehabis istirahat, Sabar dan tim kembali turun ke Moraine Camp guna menginap semalam di dalam tenda.
Nahas buat tim, saat kembali naik ke Lensz Rock, badai salju turun tiada henti. Pandangan mata jadi terbatas dan crampon si tunadaksa mudah terperosok ke dalam salju. Angin kencang makin menghambat. Dua anggota tim rontok, melempar handuk tanda menyerah hingga harus turun lagi. Namun Sabar yang gigih akhirnya sampai Lenz Rock.
Istirihat satu malam di suhu 10 derajat celcius ternyata bukan perkara mudah. Sabar harus tidur di tenda dingin beralaskan plastik ditemani hujan es. “Waktu itu ketebalan salju mencapai sekitar 5 meter. Saya tidur di tenda yang diselimuti salju setebal 70 Cm. Biasanya saya tidur di atas kasur,” kenangnya dengan canda renyah.
Buruknya cuaca pun membuat penundaan keberangkatan tahap ketiga menuju puncak Elbrus. Awalnya tim berniat memulai akan memulai perjalanan subuh, pukul 02.00 waktu setempat, namun urung. Baru pukul 09.00 tim mulai melakukan pendakian pada tantangan terberat.
Jalur pendakian kali ini dipenuhi tebing terjal. Tali temali antar pendaki pun dikaitkan agar bila ada yang terperosok langsung bisa ditarik. Kemiringan curam berbaur hujan salju yang turun sangat deras ini membuat pendakian makin rumit. Satu kaki dari crampon sulit digunakan. Tiap sepuluh langkah, tenaga Sabar terkuras sehingga dia berhenti istirahat.
Sabar bersusah payah harus jatuh sebanyak 10 kali. Tim Ekspedisi Merdeka hanya menyisakan Sabar , pendampingnya dan seorang dari tim Mahapala Unnes. Sejenak lelaki asal Solo ini pasrah. Lalu, pemandu asal Rusia lalu membangkitkan semangat. “Come on Sabar. Don’t give up.” Sabar pun digandeng.
Kemudian, tinggal 300 meter menuju puncak, tebing makin terjal. Akhirnya Sabar melepas gandengan, memilih jalan alternalitf melewati jalur landai dengan jarak 1 km. itu pun rasanya begitu berat. Dan, oksigen sudah menipis. Mereka harus sampai dengan waktu yang sudah direncanakan kalau tidak mau bahaya mengancam. Dalam detik akhir menuju puncak, Sabar beberapa kali terjatuh. Semangatnya tak padam, dia kembali bangun tanpa bantuan.
Tepat pukul 16.45 setempat atau waktu 19.45 WIB, penuh haru, kental nasionalisme, Sabar menancapkan bendera merah putih yang dibawanya selama perjalanan pada tongkat sebelah kiri. Sejurus kemudian, dia sujud dan menjalankan shalat hingga dua rakaat.
Sabar sang penakluk Elbrus menjadi legenda. Dia setara pendaki fenomenal Elbrus lainnya, yakni pendaki berkaki lumpuh, Vladimir Krupennikov (1997) dan Yakov London dari Rusia (2001). Atau, si buta Erik Weihenmayer dari Amerika Serikat (2002).
Sabar merupakan orang Asia pertama yang menaklukan Elbrus. Bahkan, dirinya didaulat sebagai tuna daksa berkaki satu pertama yang mencapai puncak gunung tertinggi di Eropa dari jalur Utara.
Atas semangat juang itu, salah satu staf KBRI di Rusia, Aji Surya menyematkan nama Gorky. Itu merupakan simbol perjuangan dari proses kegigihan Sabar yang sabar. Gorky sendiri berasal dari nama seorang sastrawan Rusia, Maxim Gorky yang aslinya bernama Alexey Maximovich Peshkov. Kisah pahit sastrawan itu melewati perjuangan keras hingga sukses menjadi maestro. Maxim sendiri berarti si empunya hidup. Sementara Gorky definisinya pahit.
Sabar Gorky menjadi lambang proses kepahitan menjadi manis lewat kerja keras. When everything is easy, one quickly gets stupid. Begitu salah satu petikan Maxim Gorky.
Masih Banyak kiprah dan prestasi dari Sabar, dan dikisahkan dan ditulis pada buku Man of The Year 2011 RMOL dalam kategori Inspiring. Diterbitkan tanggal 29 Januari 2012.
/RedFlag/Info
0 komentar:
Posting Komentar